Pages

Selasa, 15 Februari 2011

sinopsis sang pencerah

Sang Pencerah adalah film drama tahun 2010 yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo berdasarkan kisah nyata tentang pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan. Film ini dibintangi oleh Lukman Sardi sebagai Ahmad Dahlan, Ihsan Idol sebagai Ahmad Dahlan Muda, dan Zaskia Adya Mecca sebagai Nyai Ahmad Dahlan. Film ini menjadikan sejarah
sebagai pelajaran di masa kini
tentang toleransi, koeksistensi
(bekerjasama dengan yang
berbeda keyakinan), kekerasan
berbalut agama, dan semangat perubahan yang kurang.[1] Sang Pencerah mengungkapkan sosok
pahlawan nasional itu dari sisi
yang tidak banyak diketahui
publik. Selain mendirikan
organisasi Islam Muhammadiyah,
lelaki tegas pendirian itu juga dimunculkan sebagai pembaharu
Islam di Indonesia. Ia
memperkenalkan wajah Islam
yang modern, terbuka, serta rasional.[2] Sinopsis Sepulang dari Mekah, Darwis
muda (Muhammad Ihsan Tarore) mengubah namanya menjadi
Ahmad Dahlan. Seorang pemuda
usia 21 tahun yang gelisah atas
pelaksanaan syariat Islam yang
melenceng ke arah sesat, Syirik
dan Bid'ah. Dengan sebuah kompas, dia
menunjukkan arah kiblat di Masjid Besar Kauman yang selama ini diyakini ke barat
ternyata bukan menghadap ke Ka'bah di Mekah, melainkan ke Afrika. Usul itu kontan membuat para kiai, termasuk penghulu
Masjid Agung Kauman, Kyai
Penghulu Cholil Kamaludiningrat
(Slamet Rahardjo), meradang. Ahmad Dahlan, anak muda yang
lima tahun menimba ilmu di Kota
Mekah, dianggap membangkang
aturan yang sudah berjalan
selama berabad-abad lampau. Walaupun usul perubahan arah
kiblat ini ditolak, melalui suraunya
Ahmad Dahlan (Lukman Sardi) mengawali pergerakan dengan
mengubah arah kiblat yang salah. Ahmad Dahlan dianggap
mengajarkan aliran sesat,
menghasut dan merusak
kewibawaan Keraton dan Masjid Besar. Bukan sekali ini Ahmad Dahlan
membuat para kyai naik darah.
Dalam khotbah pertamanya
sebagai khatib, dia menyindir
kebiasaan penduduk di
kampungnya, Kampung Kauman, Yogyakarta. "Dalam berdoa itu cuma ikhlas dan sabar yang
dibutuhkan, tak perlu kiai, ketip,
apalagi sesajen," katanya.
Walhasil, Dahlan dimusuhi. Langgar kidul di samping
rumahnya, tempat dia salat
berjemaah dan mengajar
mengaji, bahkan sempat hancur
diamuk massa lantaran dianggap menyebarkan aliran sesat[3]. Dahlan, yang piawai bermain
biola, dianggap kontroversial.
Ahmad Dahlan juga di tuduh
sebagai kyai Kafir karena
membuka sekolah yang
menempatkan muridnya duduk di kursi seperti sekolah modern
Belanda, serta mengajar agama
Islam di Kweekschool atau sekolah para bangsawan di Jetis, Yogyakarta. Ahmad Dahlan juga dituduh
sebagai kyai Kejawen hanya
karena dekat dengan lingkungan
cendekiawan priyayi Jawa di Budi Utomo. Tapi tuduhan tersebut tidak membuat pemuda Kauman itu surut. Dengan ditemani isteri
tercinta, Siti Walidah (Zaskia Adya Mecca) dan lima murid murid setianya : Sudja (Giring Ganesha), Sangidu (Ricky Perdana), Fahrudin (Mario Irwinsyah), Hisyam (Dennis Adhiswara) dan Dirjo (Abdurrahman Arif), Ahmad Dahlan membentuk organisasi
Muhammadiyah dengan tujuan
mendidik umat Islam agar
berpikiran maju sesuai dengan perkembangan zaman.[4] Pemeran Lukman Sardi sebagai Ahmad Dahlan Zaskia Adya Mecca sebagai Siti Walidah Slamet Rahardjo sebagai Kyai Penghulu Kamaludiningrat Giring Ganesha sebagai Sudja Ihsan Taroreh sebagai Darwis muda Produksi Sebagai sutradara, Hanung juga
dituntut untuk menghidupkan
atmosfer dan lanskap
Yogyakarta pada akhir 1800-an.
Selain dilakukan di Yogyakarta,
syuting digelar di Musium Kereta Api Ambarawa dan kompleks Kebun Raya Bogor yang disulap menjadi Jalan Malioboro lengkap
dengan Tugu Yogyakarta pada
zaman itu. Hanung juga
mengembalikan dan mereka ulang
bangunan Masjid Besar Kauman,
Kota Gede, Bintaran, dan wilayah keraton seratus tahun silam
dengan bangunan set lokasi
serealistis mungkin. Di beberapa
adegan, misalnya saat Dahlan
beribadah haji, Hanung juga
menggunakan potongan film dokumenter lama koleksi Perpustakaan Nasional. Dana yang dikeluarkan untuk
pembuatan film ini lumayan
besar, sekitar Rp 12 miliar. Selain
itu, biaya besar dibutuhkan
untuk kostum pemain. Misalnya,
pakaian batik yang dikenakan pemain mesti sesuai dengan batik
pada 1900. Jarik atau kain
panjang sengaja didesain khusus
untuk film Sang Pencerah sesuai
dengan motif yang memang
dikenal pada 1900-an; termasuk perlengkapan sorban yang
sengaja dibuat sendiri untuk keperluan syuting.

0 komentar:

Posting Komentar